Selasa, 11 Oktober 2011

PEMIKIRAN KALAM MUHAMMAD ABDUH DAN MUHAMMAD RASYID

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini muncul begitu banyak tantangan yang mesti dihadapi oleh umat Islam. Adanya keterbelakangan dan kegelapan dalam ilmu pengetahuan modern, serta ada dan melekatnya paham fatalisme serta pemahaman yang keliru terhadap Islam, yang secara tidak langsung turut andil dalam usaha penghambatan kemajuan tersebut.
Islam senantiasa memberikan respon terhadap berbagai problematika yang muncul. Respon Islam tersebut, tidaklah lepas dari peran yang diberikan oleh tokoh yang mengerahkan segenap kemampuan intelektualnya untuk terus melakukan pembaruan terhadap berbagai paham yang ada dalam Islam.
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, adalah salah satu dari sekian banyak pembaharu, yang telah banyak menelurkan serta menyumbangkan banyak ide dan pemikirannya bagi kemajuan umat. Dan dalam tulisan ini, sedikit ulasan mengenai Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, maupun yang berkaitan dengannya.
B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah dari bahasan ini adalah sebagai berikut:
1. Siapakah Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha itu?
2. Bagaimana pokok-pokok pemikiran mereka?
3. Apakah ada perbedaan pandangan atau pemikiran diantara mereka?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun Tujuan pembahasannya sebagai berikut:
1. Mengetahui sipakah Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha itu.
2. Mengetahui dan memehami pokok-pokok pemikirannya.
3. Mengetahui perbedaan-perbedaan pandangan diantara mereka.
D. Manfaat Pembahasan
1. Mhasiswa dapat mengetahui tokoh-tokoh ilmu kalam (pembaharu) dalam islam.
2. Mahasiswa dapat mencontoh dan mengambil pelajaran dari pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
3. Untuk memenuhu tugas akhir mahasiswa


BAB II
PEMIKIRAN KALAM MUHAMMAD ABDUH DAN MUHAMMAD RASYID RIDHA
A. Muhammad Abduh
  1. Riwayat (Biografi) Singkat Muhammad Abduh
Nama lengkap Muhammad abduh yakni Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat Nasr kabupaten Buhairah propinsi Gharbiyyah Mesir tahun 1849 M/ 1265 H. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khairullah yang mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki, sedang ibunya bernama Junainah yang mempunyai keturunan dengan orang besar Islam yaitu Umar bin Khatab.[1]
Muhammad Abduh dibesarkan dalam asuhan keluarga yang tidak ada hubungannya dengan dunia pendidikan sekolah tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh. Dia belajar membaca dan menulis dari kedua orang tuanya. Berkat otaknya yang cemerlang, Muhammad Abduh bisa menghafal Al Quran dalam waktu 2 (dua) tahun pada usia 12 (dua belas) tahun.[2]
Setelah belajar dari ayahnya, di usia 14 tahun Abduh dikirim ke Thanta, di sebuah lembaga pendidikan Masjid Al-Ahmad, milik Al-Azhar.[3] Di sini ia belajar bahasa Arab, Al-Quran dan fikih. Dua tahun belajar di sini, Abduh sudah merasa bosan. Ini karena menurut Abduh sistem pendidikannya hanya mengandalkan hafalan dan tidak memberi kebebasan para muridnya untuk mengembangkan pikirannya. Maka ia pun undur diri dan pulang ke Mahallat Nashr.
Pada usia 16 tahun Abduh menikah. Tidak lama kemudian ia kembali ke Tanta setelah mendapat nasihat dari pamanya Syekh Darwis seorang penganut tarekat Sanusiyah. Setelah menyelesaikan studi di Tanta, pada tahun 1866 Muhammad Abduh melanjutkan studinya di Al-Azhar dan selesai pada tahun 1877 dengan mencapai gelar Alim.[4]
  1. Pokok-Pokok Pemikiran Muhammad Abduh
a. Hukum Akal
Para ahli tauhid (ilmu kalam) membagi hukum akal yang disebut sebagai “maklum” (al-maklum artinya yang dapat dicapai oleh akal) ke dalam 3 (tiga) kategori yaitu wajib, mungkin, dan mustahil.[5]
Diantara hukum wajib menurut akal dalam pembahasan ketuhanan antara lain bahwa Dia adalah qadim (tidak berpermulaan) dan azali, al-hayat (hidup), al-ilmu (Maha Mengetahui), al-iradat (berkehendak), al-qudrat (kuasa), ikhtiar (memiliki kebebasan berbuat), al-wahdah (Maha Esa), dan sifat-sifat syam’iyah lainnya.
Dalam pandangan Muhammad Abduh, akal manusia akan mengalami keterbatasan dikarenakan puncak maksimum yang mungkin diketahui adalah mengenal sifat dan bekas-bekas dari sesuatu.[6] Dalam upaya penggambaran tentang pengenalan terhadap Allah, Muhammad Abduh menyetir sebuah hadits sebagai berikut:
Berfikirlah kamu tentang makhluk Allah dan janganlah kamu berfikir tentang zat-Nya, niscaya kamu celaka.”
Dengan demikian pandangan Muhammad Abduh tentang penggunaan hukum akal wajib dalam pengenalan terhadap Allah bukan merupakan upaya untuk menelusur hakikat zat Allah namun terbatas dengan mengamati ciptaan dan melihat tanda-tanda kebesaran Allah di dalam ciptaan tersebut. Dalam hal ini beliau juga menolak penggunaan akal secara berlebihan sehingga keluar dari kaidah berfikir yang benar.
Adapun hukum akal mungkin bagi sesuatu zat adalah sesuatu zat tidak mungkin ada kecuali ada sesuatu sebab.[7] Demikian pula tidak satu pun diantara dua perkara (ada dan tidak ada) yang dimiliki oleh sesuatu zat secara bersamaan. Sebagian diantara hukum mungkin adalah pernyataan bahwa sesuatu yang maujud adalah “baru”. Karena sudah pasti dia tidak bisa ada (wujud) tanpa suatu sebab.
Sedangkan hukum mustahil bagi sesuatu zat bahwa sesuatu tidak mungkin terjadi wujudnya karena tidak ada (‘adam). Sekiranya hal tersebut diperbolehkan wujud, maka telah tercabut sesuatu tersebut dari kelaziman mahiyahnya.[8] Maka sesuatu yang mustahil tentu tidak bisa diwujudkan dan memang tidak ada dengan pasti bahkan akal tidak mungkin menggambarkan mahiyah sesuatu yang mustahil sebab bukan merupakan sesatu yang maujud, baik diluar maupun didalam fikiran sendiri.
b. Posisi Wahyu
Dalam pembahasan tentang wahyu tersebut Muhammad Abduh memulai dengan sebuah pertanyaan mendasar : “ dimanakah letak kemustahilan wahyu itu ? ” Bahwa apa yang mungkin tersingkap bagi seseorang belum tentu tersingkap bagi yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa derajat akal manusia memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain dan akal yang lebih rendah akan mengalami kesulitan guna mencapai pemikiran yang dilampaui oleh pemilik akal yang memiliki kecerdasan lebih tinggi kecuali dengan cara sederhana dan ringkas saja. Manusia memerlukan bimbingan untuk menuju tingkat kedewasaan dan kesempurnaan serta menuntunnya kepada kebahagiaan hidup. Setelah manusia mengalami kematangan tersebut maka keberadaan kerasulan dan terkuncinya pintu kenabian setelahnya menjadi sangat beralasan dan wajar.[9]
Sedangkan keberadaan para malaikat bukanlah hal yang mustahil, yakni setelah kita mengenal diri kita dan memahami berbagai pengetahuan maka kesadaran bahwa terdapat wujud yang lebih halus di alam yang ghaib dari kita. Maka sudah tentu sangat beralasan dan bukan mustahil jika wujud halus tersebut (malaikat) memancarkan sebagian ilmu Illahi atas kehendak Allah dan para Nabi sebagai orang terpilihlah yang mendapatkan kehormatan untuk menerimanya.[10] Maka apabila terdapat dikalangan manusia, seorang Nabi yang membawa berita yang benar maka wajib bagi manusia mengikutinya. Hal ini mencakup bahwa diantara ajaran nabi tersebut juga telah mengesahkan tentang penutupan pintu kenabian.
Sedangkan pendapat mengenai Al Quran sebagai makhluk atau qadim, Muhammad Abduh tidak memberikan komentar dalam bentuk apa pun. Mengingat bahwa persoalan tersebut merupakan pembeda yang urgen dalam pemahaman Asy’ariyah terhadap paham lain dan merupakan masalah krusial yang pernah dikemukakan oleh kalangan Mu’tazilah dan pernah muncul dikalangan umat Islam serta besar kemungkinannya pemikiran tersebut bangkit kembali pada masa selanjutnya, sangat mungkin beliau menganggap hal tersebut merupakan persoalan yang telah selesai dan mencukupkan kepada pendapat Abu al Hasan al Asy’ari yang menyatakan : “Hendaknya kita membedakan antara kalamullah yang berdiri dengan dzat-Nya yang berarti qadim, dengan wujud Al Quran yang ada di antara kita dewasa ini, yang diturunkan kepada Muhammad dalam waktu tertentu.[11]
Perkataan-Nya adalah satu yaitu larangan, perintah, berita, dan istikhbar, serta janji dan ancaman. Kesemuanya termasuk dalam kategori perkataan-Nya, bukannya kembali pada jumlah atau susunan kalimatnya. Adapun lafadz yang diturunkan-Nya kepada nabi dan rasul-Nya melalui lafadz menunjukkan kalam yang azali. Sedangkan dalil yang dibuat adalah muhdits dan yang dilandasi adalah qadim dan azali. Jadi perbedaan antara bacaan dan yang dibaca sama saja dengan sebutan yang disebut, sebutan adalah muhdits sementara yang disebut adalah qadim”.
c. Kedudukan akal dan Fungsi wahyu
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus utama pemikiran Abduh, sebagaimana diakuinya sendiri, [12]yaitu:
1) Membebaskan akal pemikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan yakni memahami langsung dari sumber pokoknya Al-Qur’an.
2) Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi dikantor-kantor pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan media massa.
Dua persoalan pokok itu muncul ketika ia meratapi perkembangan umat islam pada masanya. Sebagaimana dijelaskan Sayyid Qutub, kondisi umat islam saat ini dapat digambarkan sebagian “suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapt pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau meng­-istibnat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa cukup dengan hasil karya pendahulunya yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berdasarkan khurafat-khurafat.[13]
Menurut Abduh akal dapat mengetahui hal-hal berikut ini[14]:
1) Tuhan dan sifat-sifatnya
2) Keberadaan hidup diakhirat
3) Kebahagiaan jiwa diakhirat bergantung pada upaya mengenal tuhan danberbuat baik, sedangkan kesengsaraanya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat
4) Kewajiban manusia mengenal tuhan
5) Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan diakhirat
6) hukum-hukum mengenai kewajiban itu.
Dengan memperhatikan perbandingan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dapat diketahui pula bagaimana pungsi wahyu. Baginya wahyu adalah penolong (al-mu’min). kata ini pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia.
Menurut Muhammad Abduh, wahyu menolong akal untuk:[15]
1) Mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat
2) Mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya
3) Menyempurnakan akal tentang tuhan dan sifat-sifatnya.
4) Mengetaui cara beribadah serta berterima kasih pada Tuhan.
Secara garis besar, sistem pemikiran teologi Abduh, wahyu mempunyai “dwi fungsi”, yaitu memberi konfirmasi dan informasi, sehingga baginya wahyu itu sangat diperlukan untuk menyempurnakan pengetahuan yang diperoleh melalui akal.[16]
Lebih jauh Abduh memandang bahwa menggunakan akal merupakan salah satu dasar Islam. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Islam katnya adalah agama yang pertama kali mengikat persaudaraan antara akal dan agama. Menurutnya kepercayaan kepada exsistensi tuhan juga berdasarkan akal, wahyu yang dibawa nabi tidak mungkin bertententangan dengan akal. Kalu ternyata keduanya terdapat pertentangan, menurutnya terdapat penyimpangan dalam tataran interpretasi sehingga diperlikan interpretasi lain yang mendorong pada penyesuaian.[17]
d. Hukum Islam
Dalam salah satu tulisannya, Abduh membagi syariat menjadi dua bagian, yaitu hukum yang pasti (al Ahkam al Qath’iyah) dan hukum yang tak ditetapkan secara pasti dengan nash dan ijma.[18]
Hukum yang pertama, bagi setiap muslim wajib mengetahui dan mengamalkannya. Hukum yang seperti ini terdapat dalam al-Qur’an dan rinciannya telah dijelaskan Nabi melalui perbuatannya, serta disampaikan oleh kaum muslimin secara berantai dengan praktek.
Kedua adalah hukum yang tidak ditetapkan dengan tegas oleh nash yang pasti dan juga tidak terdapat konsensus ulama di dalamnya. Hukum inilah yang merupakan lapangan ijtihad, seperti masalah muamalah, maka kewajiban semua orang untuk mencari dan menguraikannya sampai jelas.[19]
Muhammad Abduh sangat menghargai para mujtahid dari madzhab apapun. Menurutnya, mereka adalah orang-orang yang telah mengorbangkan kemampuannya yang maksimal untuk mendapatkan kebenaran dengan niat yang ikhlas serta ketaqwaan yang tinggi kepada Allah. Berbeda pendapat adalah hal yang biasa, dan tidak selamanya merupakan ancaman bagi kesatuan umat.
Sikap yang harus diambil umat Islam dalam perbedaan pendapat adalah kembali kepada sumber asli . Untuk itu Abduh menunjukkan dua cara yang harus dilakukan oleh umat Islam sesuai dengan adanya dua kelompok sosial yang biasanya terdapat dalam masyarakat Islam yaitu mereka yang memilki ilmu pengetahuan dan yang awam. Dia berpendapat bahwa kelompok pertama wajib melakukan ijtihad langsung kepada al-Qur’an dan as-Sunah. Dalam hal ini ijtihad dituntut karena kekosongan ijtihad dapat menyebabkan mereka akan mencari keputusan hukum di luar ketentuan syara’.[20]
Bagi kelompok kedua yang awam, sikap yang harus diambilnya adalah mengikuti pendapat orang yang mereka percayai, dengan mempertimbangkan kedalaman ilmu dan ketaqwaan dari orang yang diikutiya pendapatnya. Dengan sikap ini umat Islam akan selamat dari bahaya taklid. Abduh berpendapat bahwa kebenaran dapat didapatkan dimana-mana, tidak hanya pada seorang guru atau suatu madzhab tertentu. [21]
Menurut Rasyid Ridha, madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah lebih ditekankan pada cara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh seorang mujtahid tertentu. Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada hasil mujtahid tertentu, tetapi bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara atau metode yang mereka tempuh dalam beristinbath hukum,[22] Maka fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat dihindari dan sikap taklid bisa diatasi.
e. Bagian Aqidah
Sebagai seorang pemikir yang termasuk mengagungkan akal sebagai sumber inspirasi kehidupan, Abduh sedikit banyak dipengaruhi pemikiran-pemikiran mu’tazilah. Hal ini terlihat dari buku-bukunya, di antaranya Risâlah Tauhîd. Pemikiran Abduh mengenai qada dan qadar, agaknya sejalan dengan sikap dan pandangan hidupnya yang dinamis. Di samping memandang qada dan qadar sebagai salah satu segi aqidah Islamiyah yang penting, ia juga menekankan pentingnya pemahaman yang benar dalam masalah ini.[23]
Menurutnya, bahwa keyakinan yang benar tentang masalah qada' dan qadar akan menbawa muslimin ke arah kejayaan dan kemajuan. Sebaliknya pemahaman yang salah terhadap keduanya, akan menyebabkan mereka ke dalam kehancuran. Seperti yang pernah terlihat dalam sejarah Islam.[24]
Dalam bukunya Risalah Tauhid, kita temukan bahwa qada' dan qadar dalam pandangan dan pemikiran Abduh mempunyai pengertian yang berbeda dari yang umumnya dianut muslimin umumnya. Qada' menurutnya berarti “terkaitnya Ilmu Tuhan dengan sesuatu yang diketahui (wuqû’ al-sya’ ‘ala al-ilahi bi al-syai’). Sedangkan qadar adalah "terjadinya sesuatu sesuai dengan ilmu Tuhan" (wuqû’ al-Syai’ ‘ala Hasb al-‘Ilm). [25]
Dengan kata lain, tidak ada sesuatu pun yang terjadi di alam ini yang berada di luar jangkaun ilmu Tuhan. Termasuk segala yang dipilih manusia sesuai kemauan dan kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya. Hal ini berarti bahwa qada' dan qadar tidak menunjukkan adanya paksaan kepada manusia untuk melakukan sesuatu perbuatan. Tuhan hanya mengetahui segala yang dilakukan oleh manusia, bukan menetapkan di zaman azali apa yang harus dilakukan manusia.
Konsekuensi logis dari pendapat ini adalah manusia bebas menjatuhkan pilihannya. Dan apapun perbuatan yang dipilih dan dilakukannya, Tuhan telah lebih mengetahuinya. Jadi, peran Tuhan dalam hal ini adalah mengetahui, dan peran tersebut tidak menjadi penghalang bagi kebebasan manusia dalam memilih perbuatan sesuai dengan kehendak bebasnya yang diberikan Tuhan.
f. Kebebasan Manusia dan Fatalisme
Bagi Abduh, disamping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalu sifat dasar ini dihilangkan dari dirinya, ia bukan manusia lagi, tetapi mahlik lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya. Kemudian mengambil keputusan dengan kemauwannya sendiri, dan selanjutnya mengwujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya.
Karena yaqin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat muthlaq. Tuhan telah membatasi kehendak muthlaq-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan (qudrah) kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Kehendak muthlaq Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnatullah yang telah ditetapkan-Nya. Di dalamnya terkandung arti bahwa Tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnatullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini.[26]
Muhammad Abduh sefaham dengan Mu’tazilah yang beranggapan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.[27]
g. Sifat-Sifat Tuhan
Dalam Risalah, ia menyebut sifat-sifat tuhan. Adapun mengenai sifat itu termasuk asensi tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak di luar kemampuan menusia. sungguhpun demikian, Harun Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk asensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya.[28]
h. Kehendak Mutlak Tuhan
Karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya dengan memberi kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mengwujudkan perbuatanperbuatannya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh Sunnatullah yang telah ditetapkannya.[29]
i. Keadilan Tuhan
Karena memberi daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecendrungan untuk memahami dan meninjau alam ini bukan hanya dari segi kehendak mutlak tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa alam ini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa mamfaat bagi manusia.
Adapum masalah keadilan Tuhan, ia memandangnya bukan hanya dari segi kemahasempurnaan-Nya, tapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidak adilan tidak dapat diberikan kepada Tuhan karena ketidakadilan tidak sejalan dengan kesempurnaan aturan alam semesta.[30]
j. Antrofomorfisme
Kerena Tuhan termasuk kedalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat Jasmani. Abduh yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin asensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh mahluk dialam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk sebaginya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang arab kepadanya. Dengan demikian katanya, kata al-arsy dalam Al-Qur’an bearti kerajaan atau kekuasaan, kata al-kursy bearti pengetahuan.[31]
k. Melihat Tuhan
Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya dihari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang percaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada suatupun dari mahluk yang menyerupai tuhan) sepakat mengatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu diakhirat.[32]
l. Perbuatan Tuhan
Karena berpendapat ada perbuatan tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi tuhan untuk berbuat apa yang terbaik buat manusia.
B. Muhammad Rasyid Ridha
  1. Riwayat Singkat Muhammad Rasyid Ridha
Nama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha’uddin Al-Qalmuni Al-Husaini. Namun, dunia Islam lebih mengenalnya dengan nama Muhammad Rasyid Ridha. Ia lahir di daerah Qalamun (sebuah desa yang tidak jauh dari Kota Tripoli, Lebanon) pada 27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan tahun 1865 M (wafat(1935),)[33]
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhormat dan taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridha masih memiliki pertalian darah dengan Husin bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW.[34]
Semasa kecilnya, Rasyid Ridha dimasukkan oleh orang tuanya ke madrasah tradisional di desanya Qalamun, untuk belajar membaca Alquran, menulis, dan berhitung. Berbeda dengan anak-anak seusianya, Rasyid kecil lebih sering menghabiskan waktunya untuk belajar dan membaca buku daripada bermain, dan sejak kecil memang ia telah memiliki kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan.
Setelah menyelesaikan belajar baca tulisnya, dalam usia sekitar 17 tahun, Rasyid Ridha melanjutkan studinya ke Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah, yaitu sekolah milik pemerintah di Kota Tripoli. Sekolah ini merupakan sekolah yang tergolong modern yang didirikan oleh Syaikh Al-Jisr, seorang alim ulama yang gagasan dan pemikiran keagamaannya telah dipengaruhi oleh ide-ide modernisme.[35] Disini Rasyid Ridha belajar pengetahuan agama dan bahasa Arab secara lebih mendalam. Selain itu, ia juga belajar ilmu bumi, ilmu berhitung, dan pengetahuan modern lain, seperti bahasa Prancis dan Turki.
Namun, Rasyid Ridha tidak dapat lama belajar di sekolah ini karena sekolah tersebut terpaksa ditutup setelah mendapat hambatan politik dari pemerintah Kerajaan Usmani. Untuk tetap melanjutkan studinya, dia pun pindah ke salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Meskipun sudah pindah sekolah, tetapi hubungan Ridha dengan guru utamanya saat di Madrasah Al-Wathaniyyah Al-Islamiyyah terus berlanjut.
Sang gurulah yang telah banyak berjasa dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaruan dalam diri Rasyid Ridha di kemudian hari. Di antara pikiran gurunya yang sangat berpengaruh adalah pernyataan bahwa satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan metode modern. Hal tersebut didasari kenyataan sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa saat ini banyak diminati oleh para pelajar dari seluruh penjuru dunia, padahal tidak disajikan pelajaran agama di dalamnya.
Selain menekuni pelajaran di sekolah tempat ia menimba ilmu, Rasyid Ridha juga rajin mengikuti beberapa perkembangan dunia Islam melalui surat kabar Al-’Urwah Al-Wusqo (sebuah surat kabar berbahasa Arab yang dikelola oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, dan diterbitkan selama masa pengasingan mereka di Paris).[36]
Melalui surat kabar ini, Rasyid Ridha mengenal gagasan dua tokoh pembaru yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin Al-Afghani, seorang pemimpin pembaru dari Afghanistan, dan Muhammad Abduh, seorang pembaru dari Mesir. Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru pada kedua tokoh itu.
Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia. Namun, ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir 1882, Rasyid Ridha berkesempatan berdialog serta saling bertukar ide dengan Abduh. Pertemuan dan dialog dengan Muhammad Abduh semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya.
Dengan demikian, pemikiran-pemikiran pembaru yang diperolehnya dari syaikh al-Jisr dan yang kemudian diperluas dengan ide-ide yang ia peroleh dari Afghani dan Abduh, menjadi sebuah pondasi yang kuat dan tertanam dalam jiwanya.
  1. Pokok-Pokok Pemikiran Muhammad Rasyid Ridha
Pada dasarnya, pemikiran-pemikiran pembaruan yang diajukan Rasyid Ridha, tidaklah banyak berbeda dengan ide-ide yang disampaikan oleh Afghani dan Muhammad Abduh. Ia juga berpendapat bahwasanya umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Perbuatan-perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran islam yang sebenarnya.
Sebenarnya ia telah mulai menjalankan ide-ide pembaruannya semenjak ia masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya tersebut mendapat tantangan dari pihak kerajaan Usmani. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk hijrah ke Mesir, dekat dengan gurunya Muhammad Abduh. Beberapa bulan kemudian, ia mulai menerbitkan majalah yang cukup ternama, yaitu al-Manar. Di dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan al-Manar adalah sama dengan tujuan al-Urwah al-Wutsqa, yaitu antara lain adalah mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhayul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan faham fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam serta faham-faham salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawuf, serta meningkatkan mutu pendidikan dan membela umat Islam dari permainan-permainan politik negara-negara Barat.[37]
Menurut Rasyid Ridha, kejayaan Islam masa lalu dapat tercipta kembali, apabila orang-orang muslim bersedia kembali pada al-Qur’an dan perintah-perintah moral yang terkandung di dalamnya. Sedangkan keterampilan teknis secara potensial adalah universal, dan penguasaan atasnya tergantung pada kebiasaan-kebiasaan moral dan prinsip-prinsip intelektual tertentu. Jika orang-orang muslim memilikinya, mereka akan dengan mudah dapat meraih keterampilan teknis, dan kebiasaan-kebiasaan serta prinsip-prinsip semacam itu sesungguhnya telah terkandung di dalam Islam.
Meskipun pada dasrnya ide-ide dan pemikiran yang dihasilkan oleh Rasyid Ridha memiliki banyak kesamaan dengan ide-ide dan pemikiran sang Guru, Muhammad Abduh, namun diantara keduanya juga terdapat perbedaan. Salah satunya adalah, Muhammad Abduh, bersifat lebih liberal dibandingkan Rasyid Ridha. Abduh tidak mau terikat pada salah satu aliran atau mazhab yang ada dalam Islam. Sedangkan Rasyid ridha masih memegang mazhab dan masih terikat pada pendapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyah. Ia juga sangat mendukung gerakan yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, karena ia semazhab dengannya.[38]
a. Kedudukan Akal dan Wahyu
Nampaknya, baik Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha keduanya sangat menghargai akal di samping wahyu. Hanya saja dalam penggunaannya Muhammad Abduh lebih rasional dari pada Rasyid Ridha. Menurut Rasyid Ridha akal hanya dapat dipakai terhadap ajaran-ajaran yang berhubungan dengan hidup kemasyarakatan tidak terhadap persoalan ibadah.[39]
Lebih lanjut Rasyid Ridha mengemukakan, bahwa ijtihad adalah ibadah tidak diperlukan lagi. Akal hanya dapat dipergunakan terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits yang tidak mengandung arti tegas serta terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan di dalam al-Qur'an dan Hadits.[40]
Dari uraian di atas, dapat dipahami bagaimana kedudukan wahyu menurut Rasyid Ridha, fungsi terpenting dari wahyu adalah sebagai informasi. Hal ini terlihat dari pendapat Rasyid Ridha, bahwa akal hanya mengetahui hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan (muamalat), tidak ada azab sebelum diutusnya Nabi dengan membawa wahyu. Dari pandangan ini nampaknya Rasyid Ridha lebih mengutamakan wahyu dari akal walaupun ia juga mengetahui keberadaan pemikiran rasional sekalipun terbatas.
b. Sifat Tuhan
Tentang sifat Tuhan, apakah termasuk esensi atau atau keluar dari esensi.? Rasyid Ridha lebih cenderung kepada pendapat bahwa sifat Tuhan itu berada di luar esensi Tuhan. Akan tetapi sifat Tuhan itu tidak sama dengan sifat manusia (laisa kamilslihi syaiun). Sepertinya, sifat pemurah dan kasih sayang Tuhan tidak sama dengan sifat pemurah dan kasih sayang yang dimiliki oleh manusia.[41]
c. Balasan di akhirat
Muhammad Abduh berpendapat bahwa persoalan pembalasan di akhirat harus ditafsirkan secara filosofis, dalam artian bahwa balasan yang akan diterima bersifat rohani Sedangkan menurut Rasyid Ridha balasan yang akan diterima di akhirat adalah bentuk jasmani.[42]
d. Antrophomorpisme
Dalam hal ini Muhammad Abduh kelihatannya lebih liberal dari Rasyid Ridha. Bagi Muhammad Abduh, ayat-ayat yang menyatakan bahwa Tuhan mempunyai wajah, tangan, kursi dan lain-lain harus diberi penafsiran, seperti tangan Tuhan ditafsirkan sebagai kekuasaan. Sedangkan Rasyid Ridha lebih cenderung memberikan pengertian secara harfiyah, sungguh pun tidak sama dengan pengertian yang dimiliki oleh manusia.[43]
e. Corak Penafsiran Al-Qur'an
Dalam menafsirkan al-Qur'an Rasyid Ridha pada dasarnya mengikuti metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh. Namun seperti yang diakui oleh Rasyid Ridha bahwa terdapat beberapa perbedaan antara keduanya. Perbedaan-perbedaan tersebut sebagaimana yang disimpulkan oleh Quraisy Shihab, yaitu[44] :
1) Keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadits-hadits Nabi.
2) Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain.
3) Penyisihan pembahasan yang luas tentang hal-hal yang dibutuhkan masyarakat pada masanya, baik yang menyangkut bidang hukum, argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-problem masyarakat yang berkembang.
4) Keluasan pembahasan tentang arti mufradat, susunan redaksi serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama bidang tersebut.
Perbedaan pertama, keluasan Rasyid Ridha tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan Hadits Nabi. Hal ini membuktikan kemantapan Rasyid Ridha dalam bidang Hadits, sekaligus menghindari apa yang dikemukakannya menyangkut kekurangan gurunya Muhammad Abduh, yaitu kekurangan dalam bidang Hadits dan ilmu Hadits, riwayat hafalan dan zarh wa ta'dil. Di samping itu, tentang penggunaan Hadits Rasyid Ridha berusaha untuk menyesuaikan pertentangan tentang Hadits dengan al-Qur'an. Sedangkan Muhammad Abduh seperti yang dikatakan oleh Syahathah. Jika pertentangan itu ditemukannya dia akan meninggalkan hadits dan menafsirkan al-Qur'an dengan akalnya.
Perbedaan kedua, keluasan Rasyid Ridha dalam menafsirkan Rasyid Ridha dengan ayat-ayat lain. Hal ini karena Rasyid Ridha banyak terpengaruh oleh Ibn Katsir dan mazhab Snni Salafi yang sangat dikaguminya. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika kekaguman itu mendorongnya untuk mencetak tafsir Ibn Katsir dan menyebarkan keseluruh negara Arab khususnya dan dunia Islam pada umumnya. Sedangkan Muhammad Abduh dalam menafsirkan al-Qur'an lebih banyak dipengaruhi oleh Zamakhsari seorang mufassir penganut Mu'tazilah.
Perbedaan ketiga, menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat. Dalam masalah hukum misalnya, Rasyid Ridha banyak mengagungkan pendapat ulama berbagai mazhab, seperti Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali. sedangkan Muhammad Abduh tidak banyak mengungkapkan pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh ulama terdahulu.
Dari ketiga perbedaan yang telah dikemukakan memberikan konsekwensi yang mengharuskan adanya pembahasan kosa kata secara luas, susunan redaksi ayat serta pendapat-pendapat para ulama. Sedangkan dalam penafsiran Muhammad Abduh tidak banyak memberikan pembahasan kosa kota, tata bahasa, dan gaya bahasa kecuali dalam batas-batas yang mengantarkan kepada pemahaman kandungan menuju petunjuk-petunjuk al-Qur'an. Dan inilah yang merupakan perbedaan keempat antara Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang menyangkut masalah penafsiran al-Qur'an.


BAB III
KESIMPULAN
Nama lengkap Muhammad abduh yakni Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Dilahirkan di desa Mahallat Nasr kabupaten Buhairah propinsi Gharbiyyah Mesir tahun 1849 M/ 1265 H. Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Khairullah yang mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki, sedang ibunya bernama Junainah yang mempunyai keturunan dengan orang besar Islam yaitu Umar bin Khatab.
Muhammad Abduh dibesarkan dalam asuhan keluarga yang tidak ada hubungannya dengan dunia pendidikan sekolah tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh. Dia belajar membaca dan menulis dari kedua orang tuanya. Berkat otaknya yang cemerlang, Muhammad Abduh bisa menghafal Al Quran dalam waktu 2 (dua) tahun pada usia 12 (dua belas) tahun.
Nama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha’uddin Al-Qalmuni Al-Husaini. Namun, dunia Islam lebih mengenalnya dengan nama Muhammad Rasyid Ridha. Ia lahir di daerah Qalamun (sebuah desa yang tidak jauh dari Kota Tripoli, Lebanon) pada 27 Jumadil Awal 1282 H bertepatan dengan tahun 1865 M (wafat tahun1935).
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhormat dan taat beragama. Dalam sebuah sumber dikatakan bahwa Rasyid Ridha masih memiliki pertalian darah dengan Husin bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW.
Pada dasarnya, pemikiran-pemikiran pembaruan yang diajukan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, tidaklah banyak berbeda dengan ide-ide yang disampaikan oleh Afghani yang juga berpendapat bahwasanya umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu mereka memiliki pemikiran untuk:
  1. Membebaskan akal pemikiran dari belenggu-belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagai mana haknya salaf al-ummah (ulama sebelum abad ke-3 Hijriah), sebelum timbulnya perpecahan yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, Al-Qur’an.
  2. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi dikantor-kantor pemerintahan maupun dalam tulisan-tulisan media massa.
Meskipun pada dasrnya ide-ide dan pemikiran yang dihasilkan oleh Rasyid Ridha memiliki banyak kesamaan dengan ide-ide dan pemikiran sang Guru, Muhammad Abduh, namun diantara keduanya juga terdapat perbedaan. Salah satunya adalah, Muhammad Abduh, bersifat lebih liberal dibandingkan Rasyid Ridha. Abduh tidak mau terikat pada salah satu aliran atau mazhab yang ada dalam Islam. Sedangkan Rasyid ridha masih memegang mazhab dan masih terikat pada pendapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyah. Ia juga sangat mendukung gerakan yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, karena ia semazhab dengannya.


DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad, Risalah Tauhid, Trj, Jakarta: Bulan Bintang, 1989
http://susiyanto.wordpress.com/2008/03/30/
http://hotarticle.org/blog6.php/2009/12/20/pemikiran-muhammad-abduh
http://artikelislami.wordpress.com/2008/08/31/pemikiran-muhammad-abduh
http://sarjoni's.WordPress.com
http://sayidahmad.multiply.com/journal/item/9/Syaikh_MuhammadRasyid_Ridha
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Rajak, Abd dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia.



[2] Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Trj, Jakarta: Bulan Bintang, 1989. Hal v
[4] Ibid
[5] http://susiyanto.wordpress.com
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Muhammad Abduh. Op. Cit. Hal 20
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Abd Rajak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia. Hal 213
[13] http://hotarticle.org/blog6.php/2009/12/20/pemikiran-muhammad-abduh
[14] http://artikelislami.wordpress.com/2008/08/31/pemikiran-muhammad-abduh
[15] Abd Rajak dan Rosihon Anwar. Op. Cit. Hal 214
[19] Ibid
[21] Ibid
[22] Ibid
[23] Ibid
[24] Ibid
[25] Muhammad Abduh. Op. Cit. Hal
[26] Ibid
[28] Abd Rajak dan Rosihon Anwar. Loc. Cit
[29] Ibid
[30] http://sarjoni's.WordPress.com
[31] Ibid
[32] Ibid
[34] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Hal 69
[35] Ibid
[37] Harun Nasution. Op. Cit. Hal 70
[38] Ibid
[40] Ibid
[41] Ibid
[43] Ibid
[44] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar